Sutan Alisjahbana gelar Sutan Arbi

Sutan Alisjahbana atau Sutan Arbi berasal dari Natal, sama seperti leluhurnya. Mereka merantau ke Tengah Padang (di daerah Bengkulu), karena Pemerintah Kolonial Belanda mengasingkan Sutan Mohammad Amin, kakek buyutnya ke sana. Sedangkan gelar Raden pada namanya diperoleh dari kesultanan Yogyakarta, karena adik ipar Pangeran Sentot Alibasjah yang bernama Raden Ayu Siti Hawa (isteri Sutan Mohammad Amin) adalah seorang putri yang berasal dari kraton Yogyakarta, ia ikut keluarganya yang tengah diasingkan di Bengkulu. Gelar Raden tersebut dianugerahkan juga oleh kraton Yogyakarta kepada Sutan Arbi atas jasa-jasanya memelihara makam Pangeran Sentot Alibasjah.

Sebagai seorang yang dilahirkan menjelang akhir abad ke-19, beliau banyak mengetahui kehidupan dan perjuangan rakyat Indonesia pada awal abad XX. ia merasa beruntung karena dapat ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menyaksikan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. di Bengkulu. Sutan Arbi juga dikenal sebagai orang yang kuat agamanya, dan pernah menjadi Imam Besar Masjid Jamik.

berbeda dengan ayah dan kekeknya, tokoh ini tidak pergi ke Mekkah untuk mendalami ilmu agama, tetapi bekerja sebagai guru sekolah umum milik pemerintah Belanda dan bermukim di daerah yang dahulu disebut Tengah Padang, di Bengkulu. sebagai seorang yang terjajah, tentu saja sutan Arbi mengalami perlakuan yang tidak adil dari pemerintah kolonial. sebagai contoh, ada beberapa tempat atau hal-hal tertentu yang tidak boleh diikutinya hanya karena warna kulitnya coklat atau karena kedudukan sosialnya sebagai warga dari bangsa yang terjajah dianggap rendah. kenyataan tersebut amat menyakitkan hatinya dan sangat dibencinya.

Sutan Arbi yang benci kepada Belanda ingin menunjukkan kepada orang-orang Belanda bahwa orang-orang pribumi bisa juga bergaya hidup seperti mereka. Sutan Arbi menjual sebagian tanah miliknya hanya untuk bisa unjuk gigi di depan Belanda. hasil penjualan tanah tersebut cukup bayak. setelah uang diterimanya, anak-anaknya mempercakapkan ayah mereka sebagai orang kaya yang setara dengan orang-orang Belanda yang berada di Bengkulu saat itu.

Sebagian besar uang hasil penjualan tanah itu, dipergunakan oleh Sutan Arbi untuk memasuki societeit atau bisa disingkat SOOS, semacam klub atau perkumpulan khusus orang-orang Belanda yang berkedudukan tinggi. tidak setiap orang Belanda dapat diterima memasuki klub ini. oleh sebab itu, orang Belanda yang dapat diterima sebagai anggota SOOS, dipandang mempunyai gengsi yang lebih tinggi. para anggotanya mempunyai tempat-tempat khusus untuk duduk-duduk berkumpul, berbincang, minum-minum atau melakukan olahraga sehingga dapat mempererat hubungan sosial mereka. biasanya mereka akan dapat memperoleh manfaat dari keanggotaan SOOS tersebut. salah satu syarat untuk menjadi anggota SOOS ialah membayar sejumlah uang tunai yang cukup besar, walaupun calon anggotanya orang Belanda, tetap diberlakukan pemilihan berdasarkan status sosial seseorang, apalagi orang Melayu.

Setelah menjadi anggota SOOS, tidak jelas keterangan apakah Sutan Arbi juga ikut berdansa dan minum-minum. tetapi yang jelas Sutan Arbi menjadi sangat mahir memainkan biola dan bola sodok atau bilyar. Dengan memasuki komplek elite ini, Sutan Arbi diam-diam terlibat dalam kancah politik. kemampuannya berpidato dimuka umum benar-benar dimanfaatkannya untuk mempengaruhi situasi politik pada waktu itu.

PERTEMUAN DENGAN Ir. SOEKARNO
Dihari tuanya, saat Sutan Arbi masih menjabat sebagai Kepala Sekolah di Bengkulu, pada tahun 1938, ia bertemu dengan seorang Tahanan Politik dari pulau Jawa bernama Ir. Soekarno yang diasingkan pemerintah kolonial Belanda ke Bengkulu. Ia kemudian lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno, salah seorang dari dua tokoh tokoh Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Begitu berkenalan, Sutan Arbi langsung akrab dengan Bung Karno, walaupun perbedaan usia mereka terpaut jauh. Bung Karno yang usianya 28 tahun lebih muda “memanggil” Sutan Arbi dengan sebutan Romo yang berarti ayah. bagi masyarakat Jawa, sebutan tersebut sangat halus dan mencerminkan rasa hormat. mereka selalu tampak bersama mulai dari pergi memancing, bertamasya ke tempat-tempat yang indah dan sejuk bahkan berburu ke hutan atau hadir dalam kegiatan-kegiatan yang sering diperingati oleh keluarga Indonesia waktu itu. mereka biasanya memegang peranan penting dalam setiap peringatan-peringatan yang bersifat Nasional.

Asm’aulkhaeri adalah salah seorang putri Sutan Arbi yang tetap tinggal di Bengkulu sampai Sutan Arbi meninggal dunia. Ia mengenang, selain persamaan hobby, antara Sutan Arbi dan Bung Karno terdapat persamaan yang sangat menonjol, yaitu sama-sama mempunyai keahlian berpidato. cara penampaian pesan-pesannya sangat memikat, mereka berbakat menjadi orator. bahkan dikemudian hari Bung Karno dikenal sebagai orator yang ulung. Ia mampu berpidato berjam-jam lamanya tanpa teks. begitu juga dengan Sutan Arbi. disamping itu, mereka juga menyukai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, apalagi Bung Karno sering melibatkan Sutan Arbi dalam berbagai acara yang bersifat keagamaan.

Pada tahun 1948, Sutan Arbi wafat dalam usia 75 tahun dengan status pensiunan Pegawai Negeri. beberapa tahun kemudian Asma’ulkhaeri memboyong adik-adiknya ke Jakarta sambil mengurus pensiun ayahnya. ternyata, pengurusan pensiun tersebut sangat sulit. Asma, begitu ia biasa dipanggil, meminta bantuan kepada sahabat dekat ayahnya, yaitu Bung Karno yang ketika itu telah menjadi Presiden Republik Indonesia. tentu saja tidaklah mudah menemui sang Presiden. Sebagai orang terpenting di Indonesia, berlapis-lapis pasukan keamanan menjaga dan mengurus berbagai keperluannya. kali ini Asma seperti menemui jalan buntu karena tidak ada orang yang bersedia mempertemukannya dengan Bung Karno. sampai pada suatu hari, ketika Bung Karno sedang memimpin rapat di Istana, Asma datang lagi, seorang staf keamanan mencegahnya menemui Bung Karno, lalu Asma menyerahkan sebuah catatan kecil kepada penjaga untuk disampaikan kepada Bung Karno, “Kalu begitu, tolong sampaikan ini kepada beliau, sekarang. saya akan menunggu panggilan disini”, kata Asma yang merasa pasti bahwa ia akan dipanggil oleh Bung Karno. tidak sampai sepuluh menit kemudian, seorang staf lain keluar dari ruang rapat dan berpesan agar Asma menunggu sampai rapat selesai, karena Bung Karno ingin menemuinya. begitu rapat selesai, Bung Karno langsung menemui Asma dan berbicara dengan hangat bagaikan seorang bapak terhadap anaknya yang sudah lama tidak bertemu. lalu Bung Karno membuat catatan kecil dan memerintahkan kepada ajudannya untuk mengantar dan mengurus kepentingan Asma sampai selesai. dalam waktu beberapa hari, Asma menerima tunjangan dari Departemen Sosial dengan catatan, bila pemindahan pensiun sudah dapat dilaksanakan, tunjangan tersebut akan dihentikan.

Pada tanggal 1 Oktober 1965, surat keputusan pemindahan pensiun Sutan Arbi keluar. saat itu karier politik Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia mulai turun sehubungan dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September atau lebih dikenal dengan istilah G 30 S/PKI.

Rupanya bukan hanya Asma yang ingat akan persahabatan Sutan Arbi dengan Bung Karno, tetapi Bung Karno pun demikian. Hal ini terbukti ketika ia mengabadikan kenangannya terhadap Sutan Alisjahbana atau Sutan Arbi melalui bukunya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis oleh Cindy Adams, terbitan tahun 1965. pada halaman 138, tercantum kalimat yang terjemahannya sebagai berikut :
Kawanku satu-satunya. Ia seorang Kepala Sekolah Rakyat (kini disebut Sekolah Dasar) yang sering datang berkunjung. Ia selalu membawa seorang anak gadis kecil yang sering kupeluk di pangkuanku. Aku tidak pernah melupakan keramahannya. Ketika aku telah menjadi Presiden, kutanyakan kepadanya :
“Apa yang dapat kulakukan untukmu, saudaraku? Katakanlah keinginanmu.”
Temanku yang sedang menghadapi ajalnya itu menjawab:
“Tolonglah keluarga saya, dan jika saya pergi, lindungilah anak gadis saya.”
Pesan ini kupenuhi baik-baik.
“Aku bahkan mencarikan suami baginya,”

Tidak jelas, apakah Bung Karno keliru memberikan keterangan atau Cindy Adams yang keliru mengungkapkan cerita Bung Karno. Kenyataannya, Bung Karno memang mengulurkan tangannya, tetapi suami Asma bukanlah orang yang dicarikan oleh Bung Karno.

Menurut keterangan Asma, dalam bermain biola, Sutan Arbi senang sekali memainkan lagu-lagu Minang dan Melayu. Disamping itu, ia juga mahir menggunting dan menjahit pakaian pria. Menggubah pantun juga merupakan keahliannya. Sutan Arbi selalu berpantun jika menulis surat kepada anak-anaknya yang jauh di perantauan. bahasa pantun-pantun gubahannya yang halus namun dengan maknanya yang dalam.

Ketika Bung Karno akan menikah dengan gadis Bengkulu, Siti Fatimah yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ny. Fatmawati Soekarno. sebagai sahabat setia, Sutan Arbi ikut sibuk mengurus segala sesuatu untuk keperluan pernikahan tersebut. ketika pernikahan akan dilaksanakan pada tahun 1942, tiba-tiba Bung Karno dipindahkan ke Jakarta oleh Pemerintah Jepang yang baru saja menggantikan kedudukan penjajah Belanda. pernikahannya dengan Siti Fatimah yang masih berada di Bengkulu itu tetap dilaksanakan. Sutan Arbi termasuk orang yang paling sibuk mengurus perkawinan “gantung” sang tokoh Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia ini.**

Sumber >>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar