Tag Hikayat-Tokoh-Budaya

Tag "Hikayat-Tokoh-Budaya" pada blog ini <Reyz_blog> sebagian besar menyadur tulisan dari Puti Balkis Alisjahbana yang berjudul :

 NATAL RANAH NAN DATA, Kisah Perjalanan
Dilengkapi Pokok-pokok Adat-istiadat Perkawinan Daerah Natal

                                   Cover depan                                              Cover belakang

ISBN 979-523-378-5

NATAL: RANAH NAN DATA, kisah perjalanan
Dilengkapi Pokok-pokok Adat-Istiadat Perkawinan Daerah Natal
(c) 1996 Dian Rakyat
Diterbitkan oleh Dian Rakyat - Jakarta
Anggota IKAPI
Penyusun : Puti Balkis Alisjahbana
Redaktur Pelaksana : Agus HK Soetomo
Penerjemah : Syaiful Alamsyah
Editor : Tien Tuhiddin, S.E.
             Zulkarnain Alisjahbana
Desain Sampul : Kuswondo
Dicetak oleh PT. Dian Rakyat - Jakarta
Cetakan Pertama 1996


Reyz adalah putra kelahiran Pesisir Pantai Barat Natal, anak dari kedua orang tuaku sebagai penduduk asli Natal, bahkan cucu dari kakek dan nenekku yang juga merupakan keturunan asli Natal. besar perhatian ini akan tanah kelahiranku, Natal telah tercipta dengan sejarah panjang nan harum.

dengan usaha ini kumaksudkan agar sedikit banyaknya tentang Natal dahulu dan sekarang ini dapat dibagi kepada semua orang yang "berdarah Natal" dimanapun berada, semoga hikayat panjang tentang Ranah Natal dapat terkenang indah selamanya, melangkah penuh kemajuan dan tidak melupakan adat-istiadatnya. Amiin...!!

Semoga usahaku ini turut mendapat dukungan dari semua pihak dan mudah-mudahan terhindar dari segala hal-hal yang tidak diinginkan.
e-m@il untuk krik maupun saran: reyznatal@ymail.com



NATAL RANAH NAN DATA, Jakarta, Februari 1996.
Puti Balkis Alisjahbana

Renungan
Ketika jendela kamar tidur kubuka, sekilas cahaya mentari menyilaukan mataku, sekaligus menghangatkan hati. dari bungalow di atas bukit, terlihat Laut Tengah biru membentang, dengan buih-buih ombak putih diterpa oleh semilirnya angin laut menyentuh bibir pantai. terasa indah dan nyaman.

Aku merasa seperti kembali ke Indonesia, tanah airku tercinta. "Ah, musih dingin telah berlalu," aku berkata dalam hati.

Tahun 1995 ini musim dingin sangat menusuk tulang, lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga aku harus mengungsi ke Prancis Selatan selama empat bulan. sekalipun telah berada di Eropa yang setengah tropis, suhu terasa masih sangat rendah. jalan raya, halaman rumah, atap gedung, kenderaan, semua diselimuti salju tebal. anak-anak muda yang biasanya senang melakukan olahraga musim dingin, kini lebih suka tinggal di dalam rumah, di dekat perapian.

"sepanjang musim dingin itu, aku merasa rindu akan kampung halaman. aku diganggu oleh semacam "penyakit" yang sering kambuh. "datangnya" selalu tak terduga dan terkadang "pergi" entah kemana"

dalam kerinduanku, aku merasakan kenangan, kehangatan tanah airku, seolah-olah disana jauh lebih indah dan lebih menyenangkan. harumnya tempat kelahiranku dan indahnya masa kanak-kanakku, semua terbayang di pelupuk mata, bagaikan memutar kembali film yang pernah ku tonton. tak terasa, air mata telah membasahi pipiku. kerinduan telah mengharu biru hatiku.

matahari mengintip di sela-sela kisi jendela. sinarnya membakar semangatku untuk kembali ke tanah air. disini, matahari adalah barang mewah dan langka - tidak seperti di Indonesia, kapan saja kita dapat melihat kemewahannya, kecuali pada musim hujan.

selama aku berada di perantauan, ada sebuah tempat yang melekat erat dalam kenanganku. sebuah tempat kecil bernama Natal di Pantai Barat Sumatera Utara, sekaligus tempat bersejarah bagi leluhurku. walaupun aku dibesarkan di Jakarta, Natal selalu ku kenang. sejak kecil sampai dewasa, aku selalu mendengar cerita-cerita tentang tanah leluhurku ini terutama cerita tentang kejayaan dan raja-raja yang memerintah pada masa itu. barangkali inilah yang menyebabkan aku selalu rindu, ingin pulang ke Indonesia dan melihat Natal.


HARAPAN DAN IMPIANKU UNTUK MENULIS TENTANG NATAL
Usiaku belum lagi sepuluh tahun ketika aku dikirim oleh ayah belajar ke Batavia (sekarang, Jakarta). aku tinggal di rumah abangku, Sutan Takdir Alisjahbana, bersama tiga orang anaknya. istrinya baru saja meninggal. usiaku hampir sebaya dengan putri sulung abangku itu, Samiati. ayahku, Sutan Alisjahbana gelar Sutan Arbi mengharapkan, agar aku dapat tumbuh dewasa bersama-sama dengan Samiati sambil mengasuh dua orang adik. , . . . . . . . ."

". . . . . pada suatu hari datang seorang wanita yang sudah berumur ke rumah kami. aku memanggilnya "Nanak", artinya Bibi atau Makcik. Samiati dan kedua adiknya, Iskandar dan Sofyan, memanggilnya "Uci", artinya Nenek. wanita itu bernama Puti (putri) Nur'aini. untuk menyederhanakan panggilan kepada Puti Nur'aini, aku dan Samiati menggabung kata "Uci" dan "Nanak" menjadi "Cianak".

bagiku, Cianak seorang wanita yang istimewa. ia meninggalkan kesan yang mendalam dihatiku. setiap malam menjelang tidur, Cianak selalu bercerita. . . . ." aku terkesan oleh kemampuannya bercerita, seolah-olah menghidupkan kembali tokoh-tokoh dalam "dongeng-dongeng peri". Cianak biasanya juga bercerita tentang tanah kelahirannya, Natal, yang dahulu terkenal dengan kekayaan alamnya. . . . . ." yang juga sangat melekat di benakku adalah cerita tentang raja Sjahriar dan adiknya, Sjahzaman, yang menjalin hubungan kasih dengan dua kakak beradik yang jelita., Sjahrizad dan Dunyazad.

setelah dewasa baru aku ketahui, sebenarnya Cianak lebih banyak bercerita tentang dongeng-dongeng dari tanah seberang. kemudian, aku juga mengetahui melalui buku-buku yang kutekuni, sebagian besar cerita Cianak berasal dari Persia (sekarang, Iran). bagaimana Cianak atau Puti Nur'aini dapat bercerita dengan lancar dan teliti tentang kehidupan Persia dahulu kala, padahal Cianak tidak pandai membaca..? hanya Cianak yang mengetahui jawabannya.

cerita tentang Persia membangkitkan pertanyaan dalam lubuk hatiku, apa hubungan kata "Sjah" yang ada hampir di setiap nama dalam anggota keluarga kami seperti Alisjahbana, Nur'alamsjah, Sjahrizad, Sjahrir - dengan kata "sjah" dalam tokoh-tokoh yang diceritakan oleh Cianak?!

pada awal masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia, di Semarang aku bertemu dengan seorang saudara sepupu, Sutan Nur'alamsjah. . . . . ." Sutan Nur'alamsjah pernah menggambarkan "pohon keluarga" atau dalam bahasa Natal disebut Tarombo. di dalam Tarombo, tercantum nama-nama keluarga besar / leluhur yang diperkirakan ada sejak akhir abad ke - 16 sampai sekarang. di "pucuk" tarombo, duduk seorang raja yang dikenal sebagai Rajo Putih".

Rajo Putih adalah gelar dari Pangeran Indra Sutan. ia adalah raja Natal pertama. dan diyakini pula bahwa Rajo Putih adalah leluhur keluargaku yang pertama kali menginjakkan kaki dan mendirikan kerajaan di Natal. Rajo Putih diduga berasal dari keturunan Persia yang datang ke Indonesia, khususnya Sumatera untuk menyebarkan agama Islam.

masa kanak-kanakku yang selalu dimanjakan dengan dongeng-dongeng sejarah Natal, membuat aku mulai tergugah untuk menuliskannya. sebenarnya aku ingin menelusurinya sampai ke Persia, tetapi sayangnya aku benar-benar mendapat kesulitan memperoleh fakta-fakta yang dapat mendukung tulisanku, sehingga penelusuranku ke Persia terpaksa aku batalkan. dalam pencarian fakta-fakta di Indonesia aku menghadapi berbagai hambatan, tetapi kelihatan padaku jalan masih terbuka sehingga aku menganggap hambatan itu merupakan dorongan agar aku berusaha lebih giat dalam melengkapi data-data tentang masa lalu Natal. keterangan sekecil apapun aku usahakan untuk mencarinya walaupun dengan susah payah. . . . . ."

setelah sebelas tahun mengembara, aku kembali ke Indonesia pada tahun 1960-an. mulailah aku mengumpulkan data-data yang mungkin dapat menjawab pertanyaanku tentang Natal pada masa kejayaannya.

pada suatu hari, salah seorang kemenakanku, Siti Chadidjah Djuwita, putri sepupuku, Ratna Djuwita, memperlihatkan sebuah silsilah yang mirip seperti yang pernah diperlihatkan oleh Sutan Nur'alamsjah kepadaku. silsilah ini lebih lengkap. . . . . ."

Tamalia Alisjahbana, kemenakanku juga tertarik meneliti asal-usul keluarganya sehubungan dengan adanya Korte Verklaring (plakat pendek), sejenis selebaran yang berisi ancaman atau perintah agar Sultan Mohammad Amin (kakek buyut Tamalia) menghentikan perlawanan terhadap Belanda. . . . . ."

untuk mendapatkan keterangan yang lebih lengkap, kami berkunjung ke Gedung Arsip Nasional di jalan Gajah Mada, Jakarta. sayangnya, kami tidak menemukan data-data ataupun keterangan-keterangan yang diperlukan. mereka menyarankan agar kami menghubungi badan khusus di negeri Belanda.

Buku ini kutulis dengan maksud berbagi pengalaman dengan pembaca tentang perjalanan singkatku ke Natal pada pertengahan tahun 1992. barangkali, bagi sebagian besar penduduk Indonesia, tempat bernama Natal kurang begitu dikenal.

Aku hanya ingin agar mereka yang berminat pada keadaan negeri kita – dahulu, kini dan esok mendapat gambaran tentang sebuah tempat kecil bernama Natal.

Pada mulanya aku ragu untuk menuliskannya, karena takut dianggap terlalu subyektif dan emosional. apalagi ditambah lagi dengan komentar salah seorang sahabatku – seorang wanita kalahiran Jerman – yang mengatakan: ditanah airnya, orang tidak lagi mempercakapkan kerajaan-kerajaan kecil yang kini telah lebur, karena hal itu sudah menjadi masa lalu yang kini telah lebur, karena hal itu sudah menjadi masa lalu yang tidak penting lagi untuk masa kini dan masa depan. tetapi bagiku, masa lalulah yang membentuk masa depan.

Aku tidak bermaksud menulis teori ilmiah, tetapi sekedar membagi suka cita dengan para pembaca tentang hal-hal yang menarik yang mungkin ditemui dalam penelitian menelusuri jejak leluhurku yang nyaris hilang.

Tanpa aku duga, pada suatu hari di bulan Maret 1989, sebuah surat dimuat pada rumbik kontak pembaca majalah Tempo, berjudul Perlu bantuan daftar nama para penguasa daerah Natal sebelum tahun 1825. penulisnya, Shry Fahmi Batubara. .....” rupanya ia juga sedang menyusun buku tentang Natal. naskahnya setebal 58 halaman dikirimkan kepadaku dengan harapan agar dapat dijadikan buku.

sambil terus meneliti dan mencari fakta, pada suatu hari aku bertemu dengan seorang teman lama, Hanna Rambe, seorang novelis disamping bekerja sebagai redaksi di sebuah surat kabar. Ia sangat tertarik pada sejarah Indonesia. Khususnya antara abad 15 hingga abad 18. puluhan buku telah dibacanya. Hanna menghadiahkan kepadaku sebuah buku novel tulisannya yang berjudul Mirah Dari Belanda yang diterbitkan oleh University of Indonesia Press. ia juga memberi semangat kepadaku agar aku terus berusaha melanjutkan penulisan tentang Natal. bagiku, pengalaman dan pengetahuannya tentang masa kejayaan rempah-rempah di Indonesia bagian timur sangat berharga. Hanna ikut senang ketika kepadanya kuutarakan keinginanku untuk menulis sejarah dan masa lalu Natal.

Setelah membaca novelnya, aku yakin, Hanna adalah orang yang tepat untuk menemaniku ke Natal. Mulanya ia segan, karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkannya. Tetapi akhirnya Hanna mau juga menemaniku.

Pada bulan Juni 1992, aku dan Hanna berangkat ke Natal. harapan dan impianku untuk menulis tentang Natal, Insya Allah akan menjadi kenyataan.

dalam kunjungan ku selama enam hari di Natal, aku tidak menjumpai istana yang megah. pedagang asing, atau kejadian yang istimewa seperti yang pernah kudengar sebelumnya. sebaliknya aku melihat sebuah tempat yang terpencil,.....” dengan kehidupan sosial ekonomi yang tidak begitu menggembirakan. Kesanku Natal seperti tempat tertidur, bahkan tetap bertahan sebagai sebuah tempat kediaman yang jauh dari keramaian.

tetapi keadaan ini tidak merubah perasaan cinta dan pertautan hatiku terhadap Natal. bahkan pertautan itu bertambah kokoh, apalagi penerimaan penduduk atas kedatanganku yang sangat mengharukan hati. timbul perasaan bersalah pada diriku. seharusnya aku melakukan sesuatu untuk membantu mereka. . . . .”

Mereka menyambut kedatangan kami dengan mesra, penuh kerinduan dan mengelu-elukan kami seperti menyambut kedatangan seorang raja atau pembesar kerajaan. Aku dianggap sebagai saudara jauh yang telah lama “hilang” dan kini kembali pulang. Kedatangan ku disambut bagaikan menyambut kedatangan keluarga raja.

disanalah dahulu leluhurku menemukan pemukiman baru dan beranak-pinak sampai belasan generasi. disana pula mereka dimakamkan. mereka mengukirnya menjadi bagian riwayat Sumatera Pesisir Barat.

dalam merampungkan buku ini, aku mendapat banyak bantuan berharga dari berbagai pihak, teman, kerabat, kedua keponakanku keluarga, Tokoh-tokoh Adat Natal, dll. aku mengucapkan terima kasih atas bantuan yang sangat berharga itu.

tidak ada gading yang tak retak, demikian pepatah mengatakan. sebagai manusia biasa aku sangat menyadari, tentu buku ini jauh dari sempurna dan tentu saja tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja. untuk itu kuharurkan ma’af yang sebesar-besarnya. Terima kasih jika ada saran-saran ataupun kritikan. semoga ini banyak mengasilkan manfaat.**

Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg