Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Alisjahbana gelar sutan Arbi mempunyai banyak putra-putri, salah seorang yang terkenal baik dalam skala nasional maupun internasional adalah Sutan Takdir Alisjahbana atau lebih dikenal dengan singkatan STA.

dalam buku saku berjudul Sutan Takdir Alisjahbana dan hasil karyanya, terbitan Dian Rakyat, tercantum daftar jabatan, judul buku berbagai kegiatan, serta tanda penghargaan yang pernah diterimanya. karangan dalam bidang bahasa yang ditulisnya sejak tahun 1930 – 1986 berjumlah lebih kurang 108 buah judul, sedangkan karangan atau buku-buku yang ditulisnya dalam bidang-bidang lain seperti roman, puisi, filsafat, pendidikan dan kebudayaan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing jumlahnya lebih dari 150 judul. belum lagi sejumlah jabatan yang pernah dipegangnya dalam berbagai organisasi yang bersifat nasional maupun internasional. Takdir memang seorang tokoh besar dalam bidang bahasa, sastra dan filsafat.

Jabatan Rektor Universitas Nasional baru diletakkannya pada hari ulang tahunnya yang ke-85, 11 Februari 1993, tubuhnya masih tegap, tidak ada kelebihan lemak, tidak juga ada keluhan mengenai kesehatannya.

Sutan Takdir Alisjahbana dilahirkan di Natal, pada tanggal 11 Februari 1908. ibunya bernama Puti Samiah, seorang wanita Natal, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sutan Sjahrir sebagai saudara sepupu karena mereka sama-sama keturunan Sutan Kabidun, putra Tuanku Besar Si Intan (Sintan).

tidak banyak yang dapat diceritakan oleh Tadir tentang kota kelahirannya, karena sejak berusia empat tahun ia sudah diajak merantau. Sebagai seorang guru, ayahnya, Sutan Arbi pernah ditempatkan di Cunangka, lalu dipindahkan ke Curup, Kerkap, dan Ipuh, kota-kota kecil yang terletak dekat Muko-muko. sekarang kota-kota ini masuk dalam wilayah Propinsi Bengkulu. Ia hanya ingat cerita ibunya ketika ia masih kecil, bahwa di Natal banyak ditemukan emas yang didulang oleh penduduk. menurut ibu, jika menjemur emas laksana menjemur padi. ada sebongkah emas yang kemudian di jadikan kalung oleh ibu.

Rumah mereka di Natal terletak di tepi sungai Batang Natal yang secara alami telah dihanyutkan banjir beberapa tahun lalu. lantai bangunannya berbentuk panggung tradisional dengan tiang-tiangnya yang tinggi. diantara lantai bangunan dan tanah terdapat ruang kosong. dihalamannya, terdapat pohon-pohon bambu yang rindang. jika ibu mencuci di tepian sungai, Takdir kecil sering bermain-main di dekatnya, dibawah naungan pohon bambu.

sejak meninggalkan Natal, Takdir belum pernah menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya, ketika mengikuti sebuah kongres di Medan, beberapa tahun yang lalu, ia pernah berniat mengunjungi Natal. Taksi sudah di sewa, ia pun sudah menuju Natal dan telah berjalan cukup jauh. sampai di jalan buruk yang sulit dilalui, taksi yang ditumpanginya rusak. rencana kunjungan ke Natal menjadi batal karenanya.

hubungan Takdir dengan ibunya sangat dekat dan hangat. Ketika mereka berpisah, usianya masih muda karena ia harus belajar di tempat yang jauh. mula-mula ia bersekolah di Bengkulu, kemudian Lahat, di Muara Enim dan teakhir di Bandung. di Bandung, ia masuk sekolah guru dan berhasil menamatkan sekolahnya pada tahun 1928. setelah itu ia diangkat menjadi guru dan ditempatkan di Palembang. pada waktu Surat Keputusan pengangkatannya keluar, ia meminjam gajinya selama 3 bulan pertama untuk membeli pakaian dan sepeda. hanya sebagian yang terpakai dan sisanya dikirimkan kepada ibunya di Bengkulu. betapa hancur hatinya, ketika seorang sepupu dari Bengkulu datang mengabarkan, bahwa ibunya telah meninggal dunia. uang yang dikirimkannya digunakan untuk biaya pemakaman. Ia benar-benar terpukul dan menangisi kepergian ibu sampai akhirnya ia terkena penyakit jantung. cuti sakit selama 3 bulan di berikan oleh sekolah tempatnya mengajar karena ia harus berobat ke Bandung. setelah 3 minggu dirawat di rumah sakit kesehatannya mulai membaik. kesempatan ini dipergunakan oleh Takdir untuk menyelesaikan roman yang sudah lama digarapnya, berjudul Tak Putus Dirundung Malang. naskah tersebut kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Takdir merasa, pekerjaan sebagai seorang guru tidak cocok baginya karena ia tidak cukup memiliki kesabaran. ia sering kali menampar murid-muridnya sehingga orang tua murid-murid tersebut mengadu ke sebuah majalah. pada tajuk berita, ditulis tentang ulah Takdir dengan judul 'Guru yang Ganas'. hingga Takdir memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai guru, dan pindah ke Balai Pustaka sebagai redaktur.

ketika berusia 20 tahun, STA berhasil menyelesaikan 3 buah roman masing-masing Dian Yang Tak Kunjung Padam, Anak Perawan di Sarang Penyamun, dan Layar Terkembang. pada tahun 1935, takdir ditinggalkan untuk selamanya oleh isteri pertamanya, Raden Adjeng Rohani Daha, yang meninggalkan tiga orang anak yang masih kecil dan yang paling kecil ketika itu masih bayi, sehingga ia harus menjadi ayah dan ibu sekaligus.

sepeninggal istri pertamanya, Takdir menikah lagi dengan Sugiarti, seorang gadis Jawa yang berpendidikan tinggi. ia pernah belajar di negeri Belanda dan menguasai beberapa bahasa asing. dalam sebuah kunjungan ke Amerika Serikat, istrinya meninggal dunia. dua anak perempuan yang ditinggalkannya baru berusia enam dan tiga setengah tahun. untuk kedua kalinya Takdir harus memikul peran ganda sebagai seorang ayah dan sekaligus seorang ibu dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.

Pada sebuah kongres penulis diseluruh dunia, Takdir menikah lagi dengan seorang wanita Eropa yang dijumpainya dalam kongres tersebut. sudah lama ia “bertualang” dalam alam pikiran Eropa dan bertekad menguasai kebudayaannya. Dr. Margret Axer, yang ketika itu menjadi redaktur kebudayaan sebuah surat kabar di Jerman, adalah seorang ahli bahasa, serta ahli sastra Jerman dan Inggris. dari perkawinan mereka dikaruniai empat orang anak.

dari sembilan orang anak Sutan Takdir Alisjahbana, dua orang diantaranya menjadi tokoh masyarakat. yang pertama, Iskandar Alisjahbana, seorang cendikiawan; dan Sofyan Alisjahbana, pemimpin sebuah perusahaan penerbitan yang sukses.

Adapun keluarga, istri dan anak-anak Sutan Takdir Alisjahbana yaitu :
1.    Samiati Alisjahbana, Alm.
2.    Iskandar Alisjahbana
3.    Sofyan Alisjahbana
Adalah anak-anak STA dari hasil perkawinannya dengan Raden Ajeng Rohani Daha, tahun 1929. pada tahun 1935, istrinya meninggal di Jakarta.

4.    Mitra Alisjahbana
5.    Sri Artaria Alisjahbana
Adalah anak-anak STA, dari perkawinannya dengan Raden Roro Sugiarti, tahun 1941. Raden Roro Sugiarti meninggal di Los Angeles, Amerika Serikat; pada tahun 1952

6.    Tamalia Alisjahbana
7.    Marita Alisjahbana
8.    Marga Alisjahbana
9.    Mario Alisjahbana
Empat anak-anak hasil perkawinan STA dengan Dr. Margret Axer pada tahun 1953 di Bonn, Jerman Barat. Istrinya meninggal pada tanggal 15 Maret 1994.

ketika istrinya mulai jatuh sakit, Takdir meminta adiknya, Puti Balkis Alisjahbana untuk mengurus rumah tangga STA. meskipun tampak lelah dan harus banyak beristirahat sambil berbaring di kursi panjang di ruang tamu rumahnya sambil membaca atau beristirahat. di ruang tamu ini juga STA menerima tamu-tamunya; kebanyakan dari kalangan mahasiswa, wartawan yang sudah kenal dengannya, dan tokoh-tokoh dari kalangan intelektual baik orang Indonesia maupun dari luar negeri. adik STA inilah yang mengatur pertemuan dengan para tamu Takdir. Sepanjang ingatannya, kakaknya tidak pernah menolak siapapun.

pada pertemuan itu tampak perubahan sikap pada STA, suaranya kedengaran tegar dan lantang. seolah-olah bukan dia yang berbicara, namun seorang yang masih muda yang melontarkan pikiran dan gagasan dengan penuh keyakinan. ia menyinggung demikian banyak pokok dan masalah seperti bidang kebudayaan, sastra, filsafat dan banyak lainnya hingga politik, termasuk impiannya agar Indonesia menjadi sebuah negara yang maju dan makmur, sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Yang paling banyak ia singgung adalah soal bahasa Indonesia, yang menurutnya, tidak berkembang, malahan merosot dengan terbentuknya kata-kata singkatan dan pengaruh dari bahasa asing.

Obsesi yang lain ialah keinginannya untuk mendirikan sebuah yayasan bertaraf internasional dalam bentuk semacam hadiah Nobel, yang secara berkala menghadiahkan sejumlah uang yang cukup besar, misalnya untuk seorang penulis terbaik atau seseorang yang dianggap berjasa bagi kemanusiaan. Begitu banyak yang ingin ia lakukan… dan waktunya sudah menipis "So much to do… and time is running out!"

di hari tuanya, Takdir sangat tekun menjaga kondisi tubuhnya, misalnya dengan menyusun sendiri menu sehari-hari, memilih sayuran dan buah-buahan disamping makanan bergizi lainnya. ia juga sangat berdisiplin menjalankan perintah dokter, seperti meminum atau menelan bermacam-macam vitamin serta obat-obatan. ia juga tida pernah mengabaikan olah raga yang ketika itu hanya berjalan-jalan di pagi hari di sekeliling pekarangan rumahnya. kebiasaan berenang telah ditinggalkannya beberapa bulan sebelumnya karena sudah tidak kuat.

menurut Puti Balkis Alisjahbana, Takdir adalah seorang ayah yang galak, berdisiplin serta sangat mengagungkan kejujuran diatas segalanya. kepada keluarganya diperkenalkan dengan sistem “bonus” untuk prestasi yang berlebih. jika angka-angka di rapor lebih tinggi dari enam, maka akan diberikan hadiah. jika angka rata-rata lebih dari enam, hadiah yang diberikan juga lebih besar, apalagi jika semua angka-angka di rapor nilainya baik sekali, hadiahnya pasti amat besar.

Sutan Takdir Alisjahbana meninggal pada 17 Juli 1994 di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Sebelum STA menutup mata, ia ingat akan tempat kelahirannya, Natal; beberapa tahun yang lalu ia pernah mencoba pergi ke Natal dengan mobil sewaan dari Medan, tetapi mobil itu mengalami kerusakan dan rencana mendatangi kota Natal terpaksa di batalkan. STA juga tertarik pada Materai Di Raja dari kerajaan Lingga Bayu, Ranah Nata, yang bertuliskan Aksara Arab yang menyebutkan bahwa kakek buyut keluarga Sutan Takdir sebagai salah seorang raja Natal di masa lalu. STA juga memperlihatkan materai tersebut kepada seorang sahabat dekatnya, Drs. Abu Hasan untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang tertera di materai kuno itu. pada kesempatan lain, Takdir juga menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan seseorang yang lebih tahu tentang Natal, STA juga berkeinginan mengembangkan sayap perusahaan keluarganya di sana. paling tidak membeli tanah yang cukup luas dipinggir pantai atau membeli rumah untuk melakukan sesuatu di Natal dalam bentuk usaha-usaha. hal tersebut juga disampaikannya kepada anak-anaknya yang paling bungsu, Mario dan Tamalia.

sebulan kemudian setelah berpulangnya STA, tepat pada 15 Agustus, 1994 istri ke tiganya Margret Axer menyusul suaminya ke alam baka, setelah beberapa lama menderita penyakit jantung. Margret dimakamkan di tempat yang sama dengan suaminya, di halaman rumah peristirahatan mereka sendiri di Tugu, Cisarua, Bogor; atas kehendak mereka berdua yang disampaikan kepada anak-anak mereka beberapa waktu sebelum meninggal dunia.

Takdir sangat mencintai bahasa Indonesia, ini dapat dilihat dari karya-karya yang disumbangkannya. pada waktu Jepang berkuasa, Takdir dan sekretarisnya, Suwandi, mendirikan Komisi Bahasa Indonesia. Takdirlah yang diangkat menjadi sekretaris ahli. Dua tokoh pejuang yaitu Subadio Sasrosatomo dan Miriam Budiardjo ikut bergabung. mereka resah dan khawatir memikirkan niat bangsa Jepang yang pasti akan memaksakan pemakaian bahasa Jepang kepada Bangsa Indonesia dan hal itu tentu harus dicegah sejak dini.**

OBSESI, CITA-CITA, IMPIAN DAN HARAPAN STA >>

Sumber >>

Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Share this article :

3 komentar:

shaffra allisyahbana mengatakan...

Aswabar ..!
Apakah anda termasuk Urang Ranah Nata ?
SETAHU SAYA TIDAK ADA SATU ORANGPUN MASYARAKAT RANAH NATA YANG MENYEBUT RANAH NATA ATAU NATAL KECUALI PENDATANG ATAU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN>
RANAH NATAL TIDAK ADA< YANG ADA ADALAH RANAH NATA
Wasslam bil maaf
Shaff Ra Alisyahbana ( Datuk Malako )

Ranata mengatakan...

Waalaikum salam ww. mohon maaf jika atas kesalahan dan kebodohan saya. atas masukan bapak, saya ucapkan terima kasih banyak. baru yang saya ketahui, antara nama NATA dan NATAL, belum ada fakta nyata yang menyatakannya.

jika memang nama NATA telah baku ditabalkan resmi, maka saya tidak akan memakai nama NATAL lagi untuk nama RANAH NATAL tanah kampung halamanku tercinta..

sekali lagi terima kasih banyak atas masukannya pak Shaff Ra Alisyahbana, saya sangat menghargai bapak..
dengan segala daya dan upaya, saya akan berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk tanah kelahiranku tercinta.

terima kasih..

Ita mengatakan...

Salam, untuk nama putri Sutan Takdir A bukan Mitra tapi Mirta. Wassalam

Posting Komentar