Sutan Husinsjah, lahir dan dibesarkan di Natal. ia adalah putra
Tuanku Besar Marah Ahmad, raja di kerajaan Natal kedua dari terakhir –
sebelum Tuanku Besar Sutan Sridewa. kedudukannya sebagai raja “hapus”
setelah Indonesia menjadi Negara Republik.
Rumah atau
istana kediaman Tuanku Besar (orang tertinggi, yang kedudukannya sama
dengan raja) di kerajaan Natal pun terancam punah. komplek kediaman
raja-raja tersebut hancur ketika berlangsung perang Padri. mereka
sering melancarkan taktik bumi hangus ketika melawan penjajah Belanda.
sekitar tahun 1930 – 1935, ketika Sutan Husinsjah menggali tanah di
Desa Kampung Bukit, ia menemukan beberapa batu berukuran besar yang
membuktikan, ditempat itu pada masa lalu pernah berdiri tempat kediaman
atau istana. kini di tempat tersebut telah dibangun komleks pesantren
yang didirikan oleh Sutan Husinsjah dengan nama Yayasan Syekh Abdul
Fatah. beliau mengenang, ketika ia masih kecil, ayah dan ibunya
mempunyai kebiasaan bercerita sebelum tidur yang kadang-kadang
disuarakan dalam syair-syair, menceritakan kepahlawanan sejumah tokoh,
dongeng atau cerita dari dunia binatang. mencapai usia enam tahun,
Sutan Husinsjah pergi ke Hutanopan (Kotanopan) untuk sekolah di HIS
(Sekolah Dasar yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar).
pada usia 16 tahun, ia mulai memasuki percaturan politik, dengan
menjadi anggota partai politik Parindra dan Muhammadiyah. barangkali,
inilah yang menyebabkan kesadaran politiknya tinggi. ketika tentara
Jepang datang, ia menunda sekolahnya dan kembali ke Natal. selama
berada di Natal, ia sering mendengar janji-janji Jepang yang akan
memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. ternyata janji-janji tersebut
hanya isapan jempol belaka.
suatu hari seorang tentara
Jepang berpangkat Letnan – kawan baik Sutan Husinsjah, kepadanya agar
ia segera meninggalkan Natal karena keselamatannya terancam. Sutan
Husinsjah lalu pergi ke Bandung. di sana ia bergabung dengan pasukan
Hizbullah sampai tahun 1945, ia pun menyadari, pemerintahan yang
berbentuk Swapraja tentu tidak diperlukan lagi. Sutan Husinsjah lalu
memutuskan untuk tetap bekerja di ketentaraan. ia berdinas di Aceh
sampai tahun 1953 dan baru pada tahun 1963, Sutan Husinsjah secara
resmi mengundurkan diri dari ketentaraan.
kedatangannya
kembali di Natal yaitu ketika ia menghadiri pernikahan salah seorang
cucunya pada tahun 1986. sebetulnya pada tahun 1953, ia pernah diundang
ke Natal. ketika itu, hubungan ke kota Natal masih sulit dan disana
belum ada pendidikan yang memadai. mungkin inilah yang menjadi penyebab
mengapa tingkat ekonomi masyarakat sangat rendah, pikirnya. tergerak
hatinya untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi masyarakat Natal dan
itu dilakukannya sebagai wujud rasa cinta dan ikatan batinnya kepada
tanah leluhur.
namun, sejak timbul pemberontakan PRRI
/ PERMESTA di Sumatera dan Sulawesi yang mengakibatkan kekacauan
ekonomi dan politik, niat tersebut baru dapat dilaksanakannya menjelang
akhir tahun 1980 dengan mendirikan sebuah Yayasan yang dibiayai oleh
sanak saudaranya yang dimulai dengan mendirikan Sekolah Taman
Kanak-Kanak. Beberapa waktu kemudian, ia mendirikan Sekolah Dasar dan
Sekolah Lanjutan. jauh sebelumnya, ia baru menugaskan beberapa orang
guru ke Padang Panjang untuk belajar ilmu pendidikan sampai memperoleh
ijazah dan berhak mengajar. sekarang di Natal telah banyak berdiri
lembaga pendidikan dan kejuruan yang bernaung dibawah Yayasan yang
didirikannya. Sutan Husinsjah merasa gembira karena masyarakat Natal
kini sudah menyadari akan pentingnya pendidikan bagi masa depan.
ketika
itu, disamping mendirikan sekolah-sekolah, Yayasan juga menyediakan
perahu-perahu motor penangkap ikan. usaha penyewaan perahu-perahu motor
ini selain menjadi sumber penghasilan utama bagi Yayasan, usaha ini
juga membuka lapangan kerja bagi penduduk setempat. dan direncanakan
jumlah perahu motor tersebut akan ditambah, dengan harapan agar para
lulusan Yayasan Pendidikan yang didirikan oleh beliau dapat
mempraktekkan ilmu yang mereka peroleh disekolah dengan mendirikan
koperasi nelayan. dengan prinsip, Sutan Husinsjah ingin memberikan kail
bagi masyarakat, bukan ikannya.
Sutan Husinsjah
mengenang Natal sebagai sebuah tempat yang tenang dan tertib. ia juga
menginginkan jika Natal dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata,
asalkan mental masyarakatnya harus dipersiapkan terlebih dahulu untuk
menangkal pengaruh-pengaruh asing yang buruk. selain itu, harus pula
dipersiapkan sarana dan prasarana lainnya agar para turis yang datang
berkunjung merasa nyaman. sekarang Sutan Husinsjah tinggal di Jakarata
bersama istri dan anak-anak serta cucu-cucunya.
PARWIS NASUTION
Parwis
Nasution tinggal di Natal dan menempati Rumah Gadang Pangka Manggih. di
daerah Natal, ada istilah Rumah Gadang sama seperti di Minangkabau,
hanya bentuk dan fungsinya yang berbeda. dahulu di Natal ada empat
jenis Rumah Gadang, masing-masing disebut dengan Rumah Gadang Tangah
Padang, Rumah Gadang Pokok Aru, Rumah Gadang Kabun dan Rumah Gadang
Pangka Manggih. masing-masing Rumah Gadang tersebut diberi nama sesuai
dengan keadaannya. tempat kediaman perwakilan pemerintah Belanda yang
terletak di Tangah Padang kini telah berubah fungsinya menjadi gedung
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan kini tidak lagi pernah
disebut sebagai Rumah Gadang. Rumah Gadang Pokok Aru disebut demikian,
karena dihalamannya tumbuh subur pohon-pohon aru (aor atau bambu) yang
besar. Rumah Gadang ini dahulu menjadi tepat kediaman Tuanku Besar
Sutan Marah Ahmad dan Tuanku Besar Sutan Mohammad Arif.
Parwis pun masih ingat, setiap liburan sekolah ia selalu dijemput
oleh kakeknya untuk diajak pulang ke Natal. mereka selalu berkumpul di
Rumah Gadang Pangka Manggih, terutama bila ada perayaan keagamaan. Ia
juga masih ingat, jika Sutan Alisjahbana gelar Sutan Arbi berkunjung ke
Natal, ia selalu menginap di Rumah Gadang Pangka Manggih itu. hubungan
antara Sutan Barumun dengan Sutan Arbi terjalin begitu baik
sampai-sampai mereka ingin menjodohkan Mutia (adik ibu Parwis Nasution)
dengan Sutan Takdir Alisjahbana (anak Sutan Arbi) yang waktu itu telah
menjadi guru. mungkin mereka tidak berjodoh, karena keduanya kemudian
menikah dengan orang lain.
Parwis menceritakan Rumah Gadang Pangka Manggih milik keluarganya
yang
asli sudah diruntuhkan, dan ditempat tersebut telah didirikan kembali
Rumah Gadang baru yang bentuknya dibuat sama atau menyerupai dengan
Rumah Gadang yang asli. dari sinilah dahulu Tuanku Besar Sutan Hidayat
bin Sutan Salim memerintah kerajaan Natal. kemudian Rumah Gadang
tersebut dihuni oleh Sutan Barumun, salah seorang keturunan Tuanku
Besar Sutan Raja Hidayat. mereka menetap di Hutanopan (Kotanopan). ibu
Sutan Barumun bernama Puti Siti Nur Hidayat yang kemudian menikah
dengan pria bermarga Nasution asal Mandailing. Puti Halijah, adalah
istri Parwis adalah sepupunya sendiri, keturunan dari Raja
Hidayat. Sutan Bardansjah adalah paman Parwis Nasution. sedangkan ayah
Sutan Bardansjah, Tuanku Besar Sutan Sridewa (raja terakhir di kerajaan
Natal), adalah paman dari ibu Parwis Nasution.
Parwis Nasution yang kini sudah pensiun dari jabatannya sebagai
Perwira
Tinggi Angkatan Darat, ingin menyumbangkan sesuatu kepada Natal. dan ia
pun sependapat dengan Sutan Husinsjah yang berprinsip lebih "baik
memberi kail daripada ikan memberikan ikan". karena
ia amat tertarik mengamati penduduk natal yang cinta laut. menurut
Parwis, orang Natal termasuk orang yang sangat berani melaut. walaupun
cuaca buruk, namun nelayan Natal tetap dapat mengarungi dan membawa
hasil laut. jika ada peluang, tentu nelayan Natal dapat menjadi pelaut
yang ulung. oleh sebab itu, Parwis bersama-sama dengan beberapa orang
penduduk setempat mendirikan sebuah kongsi yang berusaha dalam bidang
penyewaan perahu-perahu motor penangkap ikan untuk nelayan.
perahu-perahu tersebut diberi nama Ka Lauik Juo. jika usaha ini
berjalan baik, maka perahu-perahu motor tersebut akan ditambah.
Masyarakat Natal banyak tersebar di perantauan, hal ini terjadi
karena Tuanku Besar Mohammad Natal diasingkan oleh Belanda sekitar
pertengahan abad ke-19 sehingga mengakhiri kekuasaan para Tuanku Besar
Natal yang berdaulat. Sedangkan para pengikutnya yang tidak diasingkan,
umumnya mengadu nasib di negeri lain. Masyarakat Natal banyak tersebar
di Jakarta, Medan, Aceh, Negeri Sembilan dan Selangor di Malaysia.
Natal sebagai tanah leluhur, masih bersemayam dihati mereka. Dimanapun
masyarakat Natal berada, mereka selalu membuat perkumpulan. dan kini
banyak putra-putri Natal yang telah mencapai sukses di perantauan.
Semangat mereka sebagai pelopor dan pengembara seperti pernah dimiliki
oleh nenek moyang mereka, agaknya menjadi “warisan” berharga.**
Sumber >>
Sutan Husinsjah
Share this article :
0 komentar:
Posting Komentar