Soetan Bardansjah

Soetan Bardansjah adalah seorang pemuda Natal yang pernah menjabat sebagai Komandan Detasemen PT (Polisi Tentara) dengan pangkat Letnan I. ia sangat berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, apalagi ketika terjadi kemandegan pemerintahan akibat Agresi Belanda ke-2 sampai terbentuknya Dewan Pertahanan. untuk memperlancar urusan Dewan Pertahanan, dibentuklah dua kantor perwakilan. Soetan Bardansjah diangkat sebagai kepala Perwakilan di Batahan (bekas kekuriaan Batahan), sedangkan perwakilan di Singkuang dipimpin oleh M. Jamir Panggabean, mantan Camat yang diperbantukan pada Wedana Natal. pembentukan dua kantor perwakilan ini disadari atau tidak, menjadi cikal-bakal pembagian Daerah Sumatera Utara.

pada tanggal 21 April 1949 Dewan Pertahanan dibubarkan dan diserahterimakan kepada Soetan Bardansjah selaku Camat Natal yang telah ditentukan dan diangkat oleh Pemerintah Kabupaten.

H. Soetan Bardansjah lahir di Natal pada tanggal 19 Oktober 1919. ayahnya, Soetan Ayub gelar Soetan Sridewa, adalah keturunan Soetan Mohammad Amin yang di tahun 1830 diasingkan ke Bengkulu oleh Pemerintah Kolonial Belanda atas tuduhan menentang pemerintah yang berkuasa. rupanya sifat Soetan Bardansjah tidak jauh berbeda dengan sifat kakek buyutnya. di zaman perjuangan fisik melawan Belanda, ia dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pemerintah RI menganugrahinya beberapa tanda jasa, seperti Tanda Jasa Pahlawan (Bintang gerilya), Bintang Lencana Peristiwa Aksi Militer Kesatu dan Kedua, serta Jasa Karya Satya.

jabatan-jabatan lain yang pernah didudukinya setelah jabatan sebagai Camat Natal adalah sebagai Asisten Wedana Baru, Wedana di Langkat Hulu, Binjei (Sumatera Utara). di tahun 1958, ia diperbantukan di Departemen Dalam Negeri, kemudian mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat dalam bidang Public Administration di Wayne University di Detroit. sekembalinya di tanah air, ia menduduki beberapa jabatan di kantor Gubernur Sumatera Utara, seperti Kepala Bagian Protokol, serta Pejabat Bagian Administrasi dan Keuangan. di tahun 1974, ia diangkat menjadi Sekretaris Wilayah Daerah Sumut dan beberapa tahun kemudian menjadi anggota MPR.

Soetan Bardansjah kini bermukim di Medan bersama istrinya, Hajjah Hanifah, yang juga berasal dari Natal, menikmati masa pensiunnya bersama kelima putra dan putri mereka, Dr. Yuniar Bardan, Phinderman, Deliansjah, Yulinar, Jaya Rachmat, Hanizar.

DAHLAN gelar SUTAN AMINUDDIN
Dahlan gelar Sutan Aminuddin lahir di Kampang, Sumatera Barat, pada bulan Juli 1902. ia merupakan anak keempat dari Puti Baheram. suami Puti Baheram bernama Marzuki gelar Datuk Maharaja yang menjabat sebagai Kepala Negeri Kamamng Mudik. Puti Baheram adalah anak keempat dari Puti Jamiah, istri Tuanku Lareh Ismail gelar Datuk Kayo dari Kota Gadang. sedangkan Puti Jamiah adalah anak pertama dari Puti Samsiah, istri pertama Sutan Mohammad Natal, putra Tuanku Besar Si Intan dengan permaisurinya Puti Junjung.

pada tahun 1908, Datuk Sri Maharaja, ayah Sutan Aminuddin bersama-sama dengan kakaknya Abdul Wahid gelar Sutan Kari Mudo dan pamannya Tuanku Lareh Kamang, dibuang oleh Belanda ke Jakarta. ia dituduh terlibat pemberontakan melawan pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan Perang Kamang.

Datuk Sri Maharaja meninggal di penjara Glodok di Jakarta, sedangkan saudaranya Abdul Wahid dibuang seumur hidup ke Makasar (Ujung Pandang). tak lama kemudian, Tuanku Lareh Kamang diperbolehkan pulang ke Sumatera Barat dengan syarat tidak boleh memasuki wilayah Kamang.

pada tahun 1928 terjadi pemberontakan Komunis di Sumatera Barat. Dahlan gelar Sutan Aminuddin dicari-cari pejabat kolonial Belanda, karena dianggap terlibat dalam pemberontakan tersebut. karena merasa tidak aman, ia terpaksa meninggalkan Sumatera Barat lalu pergi ke Pulau Telo. kemudian ia mengambil istri dan anak-anaknya. mereka lalu meneruskan perjalanan ke Sibolga untuk bersembunyi di rumah kerabatnya. ditempat inilah lahir putra keduanya yang diberi nama Dahnial.

dalam persembunyiannya, akhirnya tercium juga oleh Belanda. setelah ditangkap. ia dibawa ke Bukittinggi. atas perintah Jaksa setempat, pada akhir tahun 1928 ia diharuskan meninggalkan Sumatera Barat. sejak saat itu, mencium Dahlah gelar Sutan Aminuddin hidup dalam pengasingan di Palembang.

H. Dahnial Dahlan kini bermukim di Jakarta. ia pernah menjadi pejabat tinggi di perusahaan perminyakan negera, Pertamina. ia juga berperan sebagai ketua Ikatan Warga Natal di Jakarta.

setahun kemudian, istrinya Cahaya Khairani, beserta ketiga orang anak laki-lakinya menyusul ke Palembang. Cahaya Khairani adalah anak ke-tiga dari Dani Ali - anak Sutan Ubi. adapun Sutan Ubi adalah putra ke-dua dari putri raja Singkuang. sedangkan putri raja Singkuang adalah istri ke-tiga Sutan Mohammad natal.**

Sumber >>

Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Share this article :

1 komentar:

Gampito Tjahjo mengatakan...

Sangat menarik hubungan antara tokoh perjuangan di Natal dn di Kmang yang menjadi pertautan sejarah ini: "1908, Datuk Sri Maharaja, ayah Sutan Aminuddin bersama-sama dengan kakaknya Abdul Wahid gelar Sutan Kari Mudo dan pamannya Tuanku Lareh Kamang, dibuang oleh Belanda ke Jakarta. ia dituduh terlibat pemberontakan melawan pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan Perang Kamang.
Datuk Sri Maharaja meninggal di penjara Glodok di Jakarta, sedangkan saudaranya Abdul Wahid dibuang seumur hidup ke Makasar (Ujung Pandang). tak lama kemudian, Tuanku Lareh Kamang diperbolehkan pulang ke Sumatera Barat dengan syarat tidak boleh memasuki wilayah Kamang." Hal ini kiranya dapat dijdikan tumpuan untuk mengintergrasikan pengalamn historis kedua kawasan ini?

Posting Komentar