Baralek

baralek adalah peresmian nikah atau boleh juga dikatakan perayaan perkawinan menurut adat. segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perkawinan ini sebenarnya sudah dirancang pada sidang duduk urang tuo. pelaksanaan tata kerja perkawinan telah disusun sedemikian rupa dengan rumusan yang matang dalam sidang-sidang sebelumnya.

jika sudah tercapai kata sepakat tentang hari pelaksanaan alek, maka alek malam pertama dilakukan di rumah pihak laki-laki. upacara atau pesta perkawinan yang berlangsung hanya sehari semalam disebut sahari duduk sahari bainai yang berarti bahwa malam berinai itu merupakan malam terakhir bagi alek sehari semalam. dahulu, bagi alek satu hari satu malam maupun alek dua hari dua malam atau lebih biasanya diadakan malam badendang-dendang (kesenian daerah). kini acara kesenian semacam ini sering tidak diadakan lagi, apalagi bagi alek yang hanya berlangsung sehari semalam saja.

pada hari pertama, marapulai diturunkan dari rumahnya sambil di arak berkeliling nagari melalui jalan-jalan yang dianggap penting. marapulai diarak melalui dua tahapan. tahap pertama adalah arak-arakan haji dimana marapulai mengenakan pakaian pakaian haji seperti yang biasa dipakai orang arab lengkap dengan sorban dan jubahnya. tahap kedua marapulai diarak dengan gendang katindik (gendang adat).

sebelum arak-arakan haji dilaksanakan, di rumah marapulai digelar kesenian dikie. baru setelah itu marapulai turun dari rumah. ia diarak oleh rombongan dikie yang didahului oleh peserta yang membawa sejamba nasi kunyit yang dihiasi dengan panggang ayam. nasi kunyit ini langsung diantar dan diserahkan kepada guru mengaji marapulai, sedangkan rombongan kesenian dikie masih melanjutkan acaranya sampai acara jamuan makan. pada jamuan makan ini, selain dihadiri oleh anggota rombongan dikie terdapat pula undangan lain yang dihadiri dusanak, kaum kerabat, Pemuka-pemuka Nagari, Ninik mamak nagari, Kepala desa serta tokoh-tokoh lainnya. pada jamuan ini biasanya disajikan bermacam-macam gulai, kue-kue dan minuman.

usai makan, pihak sipangkalan (pihak Ninik Mamak perempuan) mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh hadirin dengan harapan semoga para undangan dapat hadir kembali di rumah pihak sipangkalan dalam rangka menurunkan marapulai dalam arak-arakan gendang katindik serta dendang anak-anak mudo dalam arak-arakan yang gembira sampai ke rumah anak daro, yang dibalas oleh seseorang sebagai wakil dari para undangan dengan mengucapkan pidato yang singkat. sebagaimana gayung bersambut, kato bajawab, para tamu dilepas dengan hati nan suci dan muka yang jernih. para undangan pun pulang ke tempat masing-masing.

dalam arak-arakan gendang katindik, pasumandan yang berpakaian lengkap dengan memakai hiasan kepala cabang dengan payung ditangan ikut serta di barisan depan, di muka marapulai sesuai dengan pepatah berbunyi : "Datang bajapuik, pai baantakan".

marapulai pada saat itu berpakaian lengkap sebagai "raja sehari" dengan memakai baju batabuo, kepala cabang atau ikek. dahulu, anak / kemenakan rajo atau anak / kemenakan sutan harus memakai ikek, sedangkan marapulainya memegang tongkat dan dinaungi dengan payung gadang kuning. orang bisa hanya dapat memakainya jika telah mendapat izin dari raja. jika marapulai adalah anak / kemenakan sutan, ia akan dikawal di sebelah kiri dan kanan oleh pengawal kehormatan yang memegang pedang terhunus, tombak serta perisai, sedangkan jika anak / kemenakan rajo yang menjadi marapulai, selain dikawal oleh pengawal kehormatan, ia pun diarak sambil mengandarai "burak bertopeng" yang sangat indah dan menarik (burak buatan). ada juga marapulai yang diarak dengan menunggang gajah putih dan marapulainya mengenakan topeng gajah putih pula.

ketika mendekati rumah anak daro, arak-arakan ini disonsong oleh beberapa orang utusan dari pihak anak daro sebagai penjemput kehormatan sambil mengabarkan bahwa marapulai dan rombongan telah siap diterima di rumah anak daro.

sesaat kemudian, tampak dua rombongan pasukan "pencak gelombang" mengelu-elukan marapulai. pasukan pencak gelombang itu sangat tangkas dan tegap ketika menghormat marapulai melalui gerakan-gerakan yang membentuk semacam kembang silat Natal asli. setelah sampai di halaman rumah anak daro, arak-arakan dipersilakan duduk disebuah kursi yang telah disediakan. sambil duduk ia menyaksikan permainan silat dalam sebuah adegan, dimana pesilat-pesilat saling menyerang satu sama lain. pertunjukan ini merupakan suatu penghormatan yang khusus dipersembahkan kepada marapulai sebagai raja sehari.

kemudian marapulai dipersilahkan memasuki rumah anak daro. namun sebelum masuk, marapulai harus berdiri sebentar didekat jenjang rumah sambil mendengarkan lagu-lagu dendang badampieng yang sangat menggugah perasaan dan merupakan lagu pengantar. setelah lagu-lagu dendang berakhir, baru marapulai dipersilahkan naik ke rumah. sebelum duduk di atas singgasana pelaminan, ia terlebih dahulu dipersilahkan duduk diatas talam loyang yang berlapiskan daun pisang dan diselimuti dengan candi atau kain batik.

selanjutnya dilakukan pemercikan tepung tawar. percikan tepung tawar ini dilakukan oleh orang-orang terdekat yaitu kerabat kedua mempelai seperti Ninik mamak, orang tua, dusanak dan lain-lain dengan mengamburkan beberapa butir beras kuning ke arah kedua pengantin. jumlah kerabat yang memercikkan tepung tawar ini boleh terdiri dari tiga, lima hinga tujuh orang. lebih dari itu pun boleh tetapi tetap dinyatakan dengan tujuh. karena angka tujuh merupakan lambang dan tingginya nilai. tepung tawar terdiri dari limo kabatang pisang yang dihiasi dengan candai ditambah peragat lainnya seperti setawa dingin dan linjuang sugi-sugi yang diikat menjadi satu dan direndam dalam sebuah piring yang telah diisi dengan beras kunyit. ikatan setawa sidingin yang sudah direndam itu dipercikkan kearah kedua mempelai yang dilakukan oleh para tamu yang merupakan perlambang dan harapan agar kedua pengantin bahagia sebagai suami istri. warna kuningnya merupakan lambang yang ada hubungannya dengan Ninik mamak. artinya, pelaksanaan pemercikan tepung tawar ini merupakan pelimpahan harkat dan martabat kepada kedua mempelai.

di ruang upacara ini terdapat pula lima buah kabuk yang diisi dengan hiasan semacam buah biluluk (buah enau). buah kabuk ini melambangkan etika, tata krama dan mempunyai nilai tersendiri ditinjau dari adat perkawinan Natal, sedangkan buah enau memancarkan adat sesuai pepatah : 

Sigai mencari enau, Enau tetap sigai beranjak, Ayam putih tabang siang, Basuluoh jo matohari, Bagalanggang di mato urang banya, Datang bajapuik, Pai baantakan. 
maksud pepatah ini ialah, pada setiap pernikahan marapulai dijemput oleh pasumandan dan kerabat pihak perempuan dari rumah marapulai ke rumah anak daro, sedangkan pasumandan dan kerabat pihak laki-laki hanya berperan sebagai pengantar. andaikata terjadi perceraian, maka suamilah yang harus meninggalkan rumah, sedangkan istri tetap tinggal dirumah.

ketentuan tersebut diatas adalah suatu ketentuan adat yang bertujuan untuk melindungi si istri dari kekecewaan, kesulitan materiil atau kehilangan tempat tinggal, apalagi seorang istri sangat besar perannya dalam membesarkan anak-anak, oleh sebab itu ada pepatah yang berbunyi " Sigai mencari enau, enau tetap, sigai beranjak.

setelah acara tepung tawar selesai seluruhnya, marapulai dipersilahkan duduk di atas pelaminan. hiasan kepala marapulai (cabang) kini diganti dengan ikek. kepadanya kemudian disuguhkan nasi kuning sebagai penghormatan selaku raja sehari. nasi kuning yang dihiasi dengan panggang pacak ayam ditutup dengan tudung batabuo. pembukaan tudung itu didahului dengan pengumuman oleh seorang Pemuka Nagari yang intinya bahwa marapulai sebagai raja sehari akan menjadi raja di rumah tangga barunya. di rumah baru ini ia akan menjadi sumando (kepala rumah tangga) yang harus menjaga seisi rumah dalam keadaan apa pun, senang atau susah.

menurut adat, seorang sumando adalah Ninik mamak dalam. kiasan bagi kedudukan baru tersebut berbunyi pasan indak baturuti, pitaruh indak baunikan (pesan itu tidak akan diulang lagi, titipan tidak akan dijaga). dinyatakan pula bahwa seorang sumando itu kok cadik untuk diikuti kok pandai untuk digurui, kok kayo untuk salang tanggang, kok kuek untuk mandagang baban, kok katungkek pamani jalan, kok kakarieh pamaga diri (yang cerdik untuk diikuti, kalau pandai dijadikan guru, kalau kaya untuk tempat meminjam, kalau kuat untuk memikul beban, andai tongkat untuk pemanis penampilan, andai keris untuk penjaga diri). itulah lambang nasi kuning yang disajikan kepada marapulai.

menurut adat, tindakan meletakkan nasi kuning di atas kepala marapulai bukan saja salah dan keliru, tetapi juga merendahkan harkat dan martabat marapulai sebagai raja sehari, karena raja sehari ini seolah-olah lebih menghormati nasi kuning dengan menaruh nasi kuning itu diatas kepalanya. nasi kuning tersebut seharusnya diletakkan dihadapan marapulai sebagai lambang penghormatan dengan cara membuka tudung kuningnya.

untuk menghilangkan kekeliruan dalam tata cara adat, kita harus berpegang pada pepatah : kalau sesat di ujung jalan, harus kembali ke pangka jalan. ini berarti pula segala sesuatu yang ada hubungannya dengan adat harus dilakukan dengan baik dan benar.
gurindam yang tepat dalam hal ini adalah :
Malangkah diujung padang (melangkah diujung pedang)
Basilek di ujung karieh (bersilat di ujung keris)
Kato selalu bak umpamo (kata selalu berbentuk kiasan)
Rundingan yang banyak bamisalan (perundingan banyak misalnya).

pada masa lalu, acara akad nikah dilanjutkan pada malam harinya, sedangkan acara penghormatan jamba nasi kunyit berlangsung pada sore hari. bahkan pada alek dua hari dua malam ke atas pun, pelaksanaan akad nikah tetap diadakan pada malam hari, karena malam pertama di rumah anak daro adalah malam berinai yang tidak diikuti dengan malam badendang. tetapi dewasa ini berhubung perayaan pernikahan dilaksanakan sehari semalam, sesudah acara jamba nasi kunyit berakhir diteruskan dengan acara akad nikah, meskipun sudah petang.

memasuki acara akad nikah, dengan bantuan pengasuh, marapulai bertukar pakaian dengan mengenakan pakaian biasa seperti berkopiah / peci untuk menghadap kadi (juru nikah). acara akad nikah ini berlangsung di ruang yang sama. setelah akad nikah berakhir, pengasuh kembali mengganti pakaian marapulai dengan pakaian khusus dan ikek dan membimbingnya kembali ke atas lapik lambak dan singgasana pelaminan.

baru setelah itu diadakan jamuan makan adat. di hadapan marapulai yang duduk di pelaminan di sajikan hidangan nasi gulai lengkap diatas dua buah dulang yang kemudian disajikan secara khusus didalam mangkok kecil.

pada masa lalu, jika anak / kemenakan raja atau sutan menjadi marapulai, jamba disajikan diatas satu dulang yang disebut jamba tongga dan sesudah akad nikah diadakan upacara pemberian gelar denga penjelaskan dalam bahasa daerah sebagai berikut :
"ketek dibari namo, kok gadang dibari gala, sadangkan sehari nikah sehari gadang"  artinya "Kecil diberi nama, besar diberi gelar, ketika sudah nikah dianggap sudah dewasa".

biasanya gelar yang akan diberikan kepada yang berkepentingan adalah gelar yang ada sangkut pautnya dengan leluhur. setelah hidangan tersaji hadirin pun dipersilahkan makan. menurut adat, marapulai tidak boleh ikut bersantap, meskipun dihadapannya tersedia makanan. tata cara ini mempunyai makna yang sangat dalam. 
bagi marapulai yang akan menjadi raja sehari, kemudian menjadi raja dalam melayarkan bahtera rumah tangga baru, segala sesuatu bisa terjadi seperti gelombang tenang, cuaca baik, sehingga bahtera dapat berlayar dengan lancar dalam mengarungi kehidupan. tetapi bisa juga terjadi sebaliknya seperti ombak besar yang mengombang-ambingkan bahtera, kilat yang sambung menyambung, petir yang menggelegar. bahtera harus dapat dikendalikan oleh nahkodanya.

dalam kaitan ini keadaan keuangan, kemakmuran, kebahagiaan, kesulitan yang agak parah dan lain-lainnya bisa saja menimpa sebuah rumah tangga. seorang ayah, sebagai raja rumah tangga harus dapat berkorban, misalnya, jika kekurangan makanan ia harus mendahulukan anak-anaknya. si ayah harus dapat menahan lapar demi anak-anaknya. itula sebabnya mengapa pada upacara jamuan makan marapulai tidak ikut serta makan.

setelah upacara penyambutan, tepung tawar, yang kemudian dilanjutkan dengan bersantap bersama, berakhirlah upacara. pihak sipangkalan menyampaikan kata-kata sambutan yang berisi ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada segenap hadirin atas kerelaan mereka memenuhi undangan dalam rangka acara penyambutan marapulai di rumah anak daro.

seorang tamu, atas nama hadirin mengucapkan terima kasih, seperti biasa dalam bentuk "gayung basambut, kato bajawab" dengan mengucapkan syukur atas karunia dan nikmat Allah SWT atas keberhasilan upacara penyambutan marapulai. selanjutnya mereka mohon diri, yang dijawab kembali oleh pihak sipangkalan bahwa kepergian hadirin dilepas dengan "hati nan suci dan muka yang jernih", sambil "maurak selo tagak badiri kembali ketampek masing-masing" dengan diiringi do'a semoga selamat dan sehat wal'afiat pulang ke rumah masing-masing.**

Sumber >>

Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar