Kecek - kecek di Aie

Adat-istiadat Natal banyak berasal dari kebudayaan Minangkabau, bermula dari kisah seorang pangeran muda dari kerajaan Indrapura yang diharuskan meninggalkan kampung halamannya karena tidak terpilih sebagai raja. dan seorang pangeran dari kerajaan Ujung Gading yang pergi bersama untuk mencari daerah kerajaan baru. di kerajaan yang baru, mereka tetap tidak melupakan asal usul mereka sebagai orang Minangkabau. sehingga adat-istiadat merekapun tidak jauh berbeda dengan adat-istiadat daerah asalnya (susuk lantak / asli). adat-istiadat kebudayaan Natal juga banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan luar, seperti Cina, Arab, Portugis, India maupun etnis dari Aceh, Makasar, Jawa dan sebagainya. sehingga pada adat kebudayaan Natal terlihat banyak kesamaan dengan adat kebudayaan di daerah lain. walau di sana sini terdapat perbedaan-perbedaan. perbedaan yang cukup mencolok terlihat dalam adat perkawinannya. di daerah Minangkabau, pihak perempuanlah yang melamar pihak laki-laki, sedangkan pada adat Natal, sama seperti di daerah lain di Indonesia, pihak laki-lakilah yang melamar pihak perempuan. walau masyarakat Natal terbuka untuk menerima pengaruh dari daerah-daerah lain, tetapi mereka cukup selektif menyaring segala pengaruh kebudayaan yang masuk, sehingga tidak merusak tatanan yang sudah ada.

10 Tahapan Adat Perkawinan Natal 

Kecek-Kecek di Aie,
jika seorang laki-laki atau pemuda telah mantap hatinya untuk menyunting seorang perempuan atau gadis, atau seorang ayah / ibu menginginkan seorang menantu, maka keluarga pihak laki-laki tidak boleh langsung menghubungi keluarga pihak perempuan, tetapi harus melalui “perantara” untuk melakukan perundingan. perundingan inilah yang disebut Kecek-Kecek di Aie. perantaralah yang diutus oleh pihak keluarga laki-laki untuk menghubungi keluarga pihak perempuan. biasanya, perantara ini adalah seorang atau beberapa orang yang ahli dan bijaksana (dapat terdiri dari laki-laki dan perempuan) yang sudah biasa melakukan perundingan kecek-kecek di aie guna mendekati orang tua atau ninik mamak gadis dimaksud untuk melakukan perundingan basimaniek, yaitu adat perkawinan Natal yang penuh dengan basa basi yang halus dengan istilah-istilah “lamak-lamak manieh bak santan jo tangguli” (enak-enak manis seperti santan dengan madu).

perundingan kecek-kecek di aie ini ada kalanya berhasil, kadangkala juga gagal. jika perundingan kecek-kecek di aie ini tidak berhasil, yang berarti ditolak oleh pihak perempuan, maka proses peminangan tentu saja tidak dilaksanakan.

biasanya, pihak perempuan akan menolaknya dengan sopan dengan tidak menyinggung perasaan pihak laki-laki dengan pernyataan yang antara lain berbunyi bahwa anak / kemenakannya belum mampu berumah tangga atau masih terlalu muda, yang secara resmi diucapkan dengan kiasan "jagung dan darah baru setumpuk pinang" atau dengan alasan-alasan lain yang enak didengar. jadi kecek-kecek di aie ini dapat diibaratkan seperti keadaan di tempat pemandian, dimana airnya dapat disauk (diambil) dan dibawa pulang atau dibuang dan dihanyutkan kembali. walaupun antara si pemuda dan di gadis telah terjalin perasaan kasih sayang dan mereka telah siap untuk membangun mahligai rumah tangga (biasanya, orang tua dan ninik mamak kedua belah pihak merestui), namun perundingan kecek-kecek di aie ini harus tetap dilakukan termasuk juga tahapan selanjutnya sebagai rentetan tata krama adat perkawinan Natal seperti disimpulkan dalam pepatah "bahubung nandak panjang, bakampung nandak laweh" (berhubungan ingin panjang, berkampung ingin luas), karena sesudah anak / kemenakan mereka menikah, orang tua dan ninik mamak kedua belah pihak akan menjadi satu keluarga (turut nikah), sehingga perkawinan ini akan membentuk semacam keluarga besar. hubungan semacam ini disebut ipar bisan, yaitu ikatan persaudaraan semacam dusanak karena sumando-menyumando antara pihak laki-laki dan perempuan dalam lingkungan keluarga besar yang erat.**

Sumber >>

Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar